Jumat, 11 November 2011

KIPA


I.       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di Indonesia tanaman jagung semakin populer dan banyak mengusahakan karena memiliki nilai gizi yang lebih banyak dan merupakan tanaman pangan kedua setelah jagung, dibeberapa tempat jagung merupakan bahan makanan pokok utama pengganti beras atau sebagai campuran beras. Selain itu juga jagung umur produksinya lebih singkat atau kurang lebih 100 hari dan produksi bisa mencapai 6,3-10 ton/ha  sehingga sangat menguntungkan (Purwono dan Purnamawati, 2007).
Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Medan Krio terdiri dari 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Sunggal dan Kecamatan Kutalimbaru yang diisi oleh 19 orang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), 2 orang Pimpinan Pertanian Kecamatan dan 2 orang Pengamat Hama Penyakit. Kecamatan Sunggal dipilih sebagai lokasi tempat pelaksanaan Karya Ilmiah Penugasan Akhir (KIPA), Kecamatan Sunggal terdiri dari 10 Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP) dan 17 Desa.   
Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Medan Krio terdiri dari dua  Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP), pertama WKPP Sei Mencirim terdiri dari dua Desa yaitu Desa Sei Mencirim, Desa Telagasari dan kedua WKPP Suka Maju yang terdiri dari satu Desa yaitu Desa Suka Maju. WKPP Sei Mencirim mempunyai luas lahan 1498 ha yang terdiri dari sawah irigasi 269 ha, sawah tadah hujan 262 ha, tegalan 446 ha, pekarangan/perumahan 375 ha, lain-lain 146 ha  dan WKPP Suka Maju seluas 611 ha yang terdiri dari lahan sawah 300 ha, lahan darat 311 ha. Di Wilayah ini telah terbentuk kelompoktani dimana WKPP Sei Mencirim terdiri dari 14 kelompoktani dan WKPP Suka Maju terdiri dari 8 kelompoktani, pada umumnya wilayah ini bergerak dibidang usahatani padi dan jagung. Dari keuntungan-keuntungan dan luas lahan yang telah diuraikan diatas seharusnya produk jagung  dari Kecamatan Sunggal Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Medan Krio Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP) Sei Mencirim dan WKPP Suka Maju lebih mampu bersaing di pasar lokal. Akan tetapi, peluang pasar ini belum dapat sepenuhnya dimanfaatkan oleh para petani sebagai produsen jagung  karena berbagai macam kendala. Produktivitas jagung  saat ini sangat rendah karena petani masih menggunakan teknologi tradisional yang tidak memperhatikan teknologi spesifik yang dikehendaki oleh tanaman jagung  tersebut. Di samping itu teknologi spesifik yang belum dilihat secara nyata hasilnya oleh petani, belum tentu diterima secara langsung.
Akhir-akhir ini, permintaan pasar terhadap jagung terus meningkat seiring dengan munculnya pasar swalayan yang senantiasa membutuhkannya dalam jumlah cukup besar. Kebutuhan pasar yang meningkat dan harga yang tinggi merupakan faktor yang dapat merangsang petani untuk dapat mengembangkan usahatani jagung. Letaknya yang berada di daerah tropis memberi kesempatan kepada hampir semua jenis tanaman untuk tumbuh dengan baik. Berkat iklim yang mendukung dan lahan subur yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, petani dapat mengusahakan sepanjang tahun. Keuntungan lainnya yang bisa dirasakan adalah murahnya harga tenaga kerja.
Di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Medan Krio dengan dilihat adanya suatu kendala yaitu rendahnya produktivitas jagung, salah satu penyebabnya karena petani masih menggunakan teknologi tradisional yang tidak memperhatikan teknologi spesifik yang dikehendaki oleh tanaman jagung. Berdasarkan uraian masalah tersebut maka dibuat Rencana Kegiatan Penyuluhan Pertanian yaitu penyuluhan tentang teknologi budidaya tanaman jagung (Programa BPP Tahun 2010).  Berdasarkan pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan Pertanian tersebut maka penulis dalam rangka pelaksanaan karya ilmiah penugasan akhir (KIPA) tahun 2011 mengambil judul: “Evaluasi Penerapan Petani dalam Teknologi Budidaya Jagung”.

B.     Rumusan Masalah
Rendahnya produktivitas jagung disebabkan karena tingkat penerapan petani dalam teknologi budidaya tanaman jagung masih rendah. 

C.    Tujuan
Untuk mengetahui tingkat penerapan penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan panen tanaman jagaung (Zea Mays)  di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.

D.    Kegunaan
1.. Sebagai salah satu syarat bagi mahasiswa untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST) di STPP Medan.
2.      Sebagai bahan pertimbangan bagi penyuluh dalam penyusunan Rencana Kerja Penyuluh Pertanian di Kecamatan Sunggal Kabupatean Deli Serdang.
3.      Sebagai tolak ukur bagi petani dalam perbaikan budidaya jagung   di Kecamatan Sunggal Kabupatean Deli Serdang.











TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian Evaluasi
Hornby dan Parnwell, (1972) evaluasi adalah suatu tindakan pengambilan keputusan untuk menilai sesuatu obyek, keadaan, peristiwa atau kegiatan tertentu yang sedang diamati. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika tanpa kita sadari, setiap saat kita telah melakukan evaluasi, baik di rumah (sejak sebelum mengambil keputusan untuk bangun tidur, kapan harus mandi, makan, pakaian yang harus dipakai, dll), di perjalanan (sewaktu memilih kendaraan yang akan kita tumpangi, tatkala melihat gadis yang berpapasan dengan kita, dll) atau di tempat pekerjaan (untuk menilai apa yang harus kita lakukan, bagaimana harus bersikap dengan orang yang sedang kita hadapi, ataupun menilai pekerjaan yang dilakukan orang lain atau yang kita kerjakan sendiri).
Dari beberapa contoh diatas dapat kita temukan beberapa hal yang merupakan pokok-pokok pengertian tentang evaluasi, mencakup:
1.   Kegiatan pengamatan dan analisis terhadap sesuatu keadaan, peristiwa, gejala alam atau sesuatu obyek.
2.   Membandingkan segala sesuatu yang kita amati dengan pengalaman atau pengetahuan yang telah kita ketahui dan atau miliki.
3.   Melakukan penilaian, atas segala sesuatu yang diamati berdasarkan hasil perbandingan atau pengukuran yang dilakukan. 
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan itu, terdapat beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam pengertian evaluasi sebagai kegiatan terencana dan sistematis yang meliputi:
  1. Pengamatan untuk pengumpulan data atau fakta.
  2. Penggunaan “pedoman” yang telah ditetapkan.
  3. Pengukuran atau membandingkan hasil pengamatan dengan pedoman-pedoman yang sudah ditetapkan terlebih dahulu.
  4. Pengambilan keputusan atau penilaian.
Tailor (1976) mengemukakan adanya dua macam evaluasi, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilaksanakan terhadap program atau kegiatan yang telah dirumuskan sebelum program atau keagiatan itu sendiri dilaksanakan, sedangkan evaluasi sumatif adalah merupakan kegiatan evaluasi yang dilakukan setelah program selesai dilaksanakan.
Pada umumnya kegiatan evaluasi hanya ditekankan pada evaluasi sumatif yaitu untuk mengetahui seberapa jauh terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan program dan seberapa jauh tujuan dan program yang telah dapat dicapai seperti yang diharapkan. Tetapi akhir-akhir ini semakin dirasakan pentingnya untuk melakukan evaluasi formatif, dengan maksud untuk mencegah terjadinya pemborosan dalam peanggunaan sumber daya (yang umumnya tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas) serta untuk meningkatkan efektifitas program atau kegiatan yang akan dilaksanakan, dalam arti tercapainya berbagai tujuan yang ditetapkan (baik dalam arti kuantitatif maupun kualitatif) pada waktu yang telah ditetapkan.
Anonim (2009) evaluasi adalah suatu penilaian dimana penilaian itu ditujukan pada orang yang lebih tinggi atau yang lebih tahu kepada orang yang lebih rendah, baik itu dari jabatan strukturnya atau orang yang lebih rendah keahliannya. Evaluasi adalah suatu proses penelitian positif dan negatif atau juga gabungan dari keduanya.
Pada umumnya evaluasi adalah suatu pemeriksaan terhadap pelaksanaan suatu program yang telah dilakukan dan yang akan digunakan untuk meramalkan, memperhitungkan, dan mengendalikan pelaksanaan program ke depannya agar jauh lebih baik. Evaluasi lebih bersifat melihat ke depan dari pada melihat kesalahan-kesalahan dimasa lalu, dan ditujukan pada upaya peningkatan kesempatan demi keberhasilan program. Dengan demikian misi dari evaluasi itu adalah perbaikan atau penyempurnaan di masa mendatang atas suatu program.
Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan sumber nilai secara objektif dari pencapaian hasil-hasil yang direncanakan sebelumnya, dimana hasil evaluasi tersebut dimaksudkan menjadi umpan balik untuk perencanaan yang akan dilakukan di depan. Dalam hal ini Yunus menitikberatkan kajian evaluasi dari segi manajemen, dimana evaluasi itu merupakan salah satu fungsi atau unsur manajemen, yang misinya adalah untuk perbaikan fungsi atau sosial manajemen lainnya, yaitu perencanaan.
Lebih jauh lagi, evaluasi berusaha mengidentifikasikan mengenai apa yang sebenarnya yang terjadi pada pelaksanaan atau penerapan program. Dengan demikian evaluasi bertujuan untuk:
1.      Mengidentifikasikan tingkat pencapaian tujuan.
2.      Mengukur dampak langsung yang terjadi pada kelompok sasaran.
3.      Mengetahui dan menganalisa konsekuensi-konsekuensi lain yang mungkin terjadi diluar sosial.
Evaluasi memiliki tiga fungsi utama dalam analisis kebijakan, yaitu:
1.      Evaluasi memberi informasi yang salah dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan yang telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah dicapai.
2.      Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefenisikan dan mengoperasikan tujuan dan target.
3.      Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadai kinerja kebijakan yang dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan.
Berdasarkan fungsi-fungsi evaluasi yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah kita simpulkan tentang nilai evaluasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk melihat sejauh mana keberhasilan sebuah program. Keberhasilan program itu sendiri dapat dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai oleh program tersebut. Beberapa istilah yang serupa dengan evaluasi dan intinya masih berhubungan erat atau masih mencakup evaluasi itu sendiri yaitu:
1.      Measurement, pengukuran yang diartikan sebagai suatu proses kegiatan untuk menentukan luas atau kuantitas untuk mendapatkan informasi atau data berupa skor mengenai prestasi yang telah dicapai pada periode tertentu dengan menggunakan berbagai teknik dan alat ukur yang relevan.
2.      Test, secara harfiah diartikan suatu alat ukur berupa sederetan pertanyaan atau latihan yang digunakan untuk mengukur kemampuan, tingkah laku, potensi-potensi sebagai hasil pembelajaran.
3.      Assessment, Suatu proses pengumpulan data atau pengolahan data tersebut menjadi suatu bentuk yang dapat dijelaskan.
Anonim (2010) pengertian evaluasi penyuluhan adalah proses penentuan tingkat perubahan perilaku warga pelajar penyuluhan, sebagai akibat dilaksanakannya kegiatan penyuluhan, dengan berpedoman kepada kriteria atau nilai pengukuran tertentu.
Tujuan evaluasi penyuluhan adalah untuk menentukan arah penyempuranaan kegiatan penyuluhan, untuk memberikan gambaran kemajuan pencapaian tujuan, perbaikan program dan rencana kerja, mengukur efektifitas metode penyuluhan yang digunakan.
Aspek yang perlu dievaluasi adalah keadaan (fakta, masalah, tujuan, kebutuhan, partisipasi petani), input (fasilitas, tempat, waktu, alat, dana, narasumber), pelaksanaan (rencana kegiatan, metode pengajaran, materi penyuluhan, pengelolaan, kelancaran, keterlibatan penyuluh, pelaporan) dan  hasil (kehadiran, reaksi, penerimaan peserta, perubahan perilaku dan kesejahteraan petani).
Evaluasi ada bermacam yaitu pertama evaluasi proses/evaluasi sumatif/monitoring adalah evaluasi yang dilakukan pada saat penetapan rencana kerja dan pada saat sedang berlangsungnya kegiatan dan kedua  evaluasi hasil/evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan sesudah kegiatan penyuluhan selesai dilakukan.

B.     Budidaya Tanaman Jagung
1.      Penyiapan lahan
Menurut Rahmat Rukmana (1997) tata cara penyiapan lahan dapat dilakukan dengan cara:
a.       Bersihkan pepohonan yang tidak berguna dan rumput-rumput liar dari areal lahan.
b.      Olah tanah dengan cara dicangkul atau dibajak dua kali sedalam 15 cm - 30 cm hingga tanah menjadi gembur.
c.       Biarkan tanah kering angin selama 7 - 14 hari.
d.      Buat petakan-petakan atau guludan-guludan yang dilengkapi dengan parit keliling. Petakan berukuran lebar 2 m - 3 m, tinggi 20 cm dan panjang tergantung keadaan lahan. Guludan berukuran lebar 40 cm – 60 cm dan diantara guludan dibuat saluran (parit) selebar 30 cm.
Tim Karya Tani Mandiri (2010) lahan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman jagung cukup luas, ia mampu tumbuh didataran rendah hingga ketinggian 3.600 m di atas permukaan laut (dpl). Tanah berpasir, bahkan liat padat boleh juga sebagai lahan bididaya tanaman jagung.
Namun, umumnya di Indonesia memanfaatkan lahan kering untuk budidaya jagung. Pemanfaatan lahan sawah dan pasang surut cuma sedikit, walaupun subur, cukup air dan produktivitas tinggi tetapi sawah jarang dimanfaatkan untuk budidaya jagung. Sementara lahan pasang surut tingkat kesuburan rendah dan kondisi tanah asam ber-pH 3 – 5, oleh karena itu butuh penanganan khusus bergantung pada tipe lahan.
Cara penyiapan lahan sangat bergantung pada fisik tanah seperti tekstur tanah. Tanah bertekstur berat perlu pengolahan yang intensif. Sebaliknya tanah yang bertekstur ringan sampai sedang dapat disiapkan dengan teknik olah tanah konservasi seperti olah tanah minimum (OTM) atau tanpa olah tanah (TOT).
Cara penyiapan lahan sistem TOT adalah melakukan pendongkelan sisa-sisa batang tanaman, kemudian langsung ditanami benih jagung. Keuntungan sistem TOT antara lain adalah menekan biaya pengolahan tanah dan memperpendek waktu tanam.
Keuntungan penyiapan lahan dengan teknik olah tanah konservasi adalah dapat memajukan waktu tanam, menghemat tenaga kerja, mengurangi pemakaian bahan bakar untuk mengolah tanah dengan traktor, mengurangi erosi dan meningkatkan kandungan air tanah.
Budidaya jagung dengan teknik penyiapan lahan konservasi dapat berhasil baik pada tanah bertekstur ringan sampai sedang dan ditunjang oleh drainase yang baik. Pada tanah bertekstur ringan, sedang dan berat penyiapan lahan dengan sistem TOT dan gulma disemprot dengan herbisida berbahan aktif glifosat sebanyak 3 l/ha, hasil jagung tidak berbeda antartekstur tanah. Dibeberapa tempat, hasil jagung dengan teknologi TOT lebih baik dibanding dengan olah tanah sempurna (OTS) maupun olah tanah minimum (OTM).
Cara olah tanah sempurna yaitu:
a.       Bersihkan pepohonan yang tidak berguna dan rumput-rumput liar dari arel lahan.
b.      Olah tanah dengan cara dicangkul atau dibajak dua kali sedalam 15 cm – 30 cm hingga tanah menjadi gembur.
c.       Biarkan tanah kering angina selama 7 – 14 hari.
d.      Buat petakan-petakan atau guludan-guludan yang dilengkapi dengan parit keliling. Petakan berukuran lebar 2 m – 3 m, tinggi 20 cm dan panjangnya tergantung kedaaan lahan. Bila lahan dipersiapkan dalam bentuk guludan-guludan, ukuran lebarnya antara 40 cm – 60 cm diantara guludan dibuat saluran atau parit selebar 30 cm.
Cara olah tanah minimum (OTM) yaitu:
a.       Lakukan pencangkulan pada bidang tanah yang akan ditanami benih jagung saja. Bidang pencangkulan memanjang sesuai dengan tempat yang akan dijadikan barisan tanaman jagung. Pencangkulan cukup selebar 20 cm – 30 cm dan kedalamannya antara 15 cm – 20 cm.
b.      Tutup permukaan tanah dengan mulsa jerami atau daun-daun kering. Mulsa berpengaruh baik pada terhadap stabilitas kelembaban tanah, pearbaikan kesuburan tanah dan dapat meanekan pertumbuhan gulma.
Dalam budidaya jagung pada lahan sawah tadah hujan teknik TOT memberikan keuntungan lebih tinggi dibanding teknik OTS. Keuntungan teknik TOT di sini adalah mengurangi biaya untuk pengolahan tanah dan pengairan.
Pada peangolahan tanah konservasi, sisa tanaman sebelumnya dihamparkan dipermukaan tanah. Keuntungan dengan cara ini adalah menghambat evaporasi, mengurangi erosi, meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan menekan biaya tenaga kerja.
Kelemahan dari pengolahan tanah konservasi adalah populasi hama kemungkinan meningkat, bahan organik terkonsentrasi pada lapisan atas tanah dan membutuhkan waktu yang lama untuk meningkatkan ksesuburan tanah.
Akhir-akhir ini pengolahan tanah minimum (minimum tillage) merupakan salah satu bentuk pengolahan tanah konservasi yang telah banyak diterapkan dalam budidaya jagung.
Menurut AAK (2007) proses pengolahan tanah pada dasarnya terjadi dari empat jenis pengolahan yaitu:
  1. Pembajakan.
Pembajakan adalah pengolahan tanah dengan mempergunakan bajak, dengan maksud agar tanah dapat membalik.
  1. Pembajakan semu.
Pembajakan semu adalah pembajakan dimana tanah tidak terbalik, hanya merupakan bongkah-bongkah besar, setelah kena hujan dan panas matahari tanah akan lebih longgar sehingga bagian yang halus akan masuk ke bawah lewat/masuk di sela-sela bongkah tanah itu.
  1. Cara-cara tambahan untuk persiapan tanah.
Pengolahan ini mempersiapkan tanah lebih lanjut sehingga makroporositas yang terlalu besar akibat pembajakan dapat ditingkatkan, untuk ini tanah digaru dan dirol sekaligus.
  1. Pengolahan untuk pemeliharaan tanah.
Pengolahan tanah ini adalah dengan menggunakan mulch, tujuan untuk menjaga permukaan tanah tetap agak lembab, peredaran air dan udara di dalam tanah tetap baik dan sekaligus memberantas rumput liar.
Pengolahan tanah yang sebaik-baiknya menuntut suatu pengalaman tersendiri, tetapi pengolahan tanahlah yang menjadi salah satu kunci yang terpenting dari usaha pertanian.
2.      Penanaman
Menurut Rahmat Rukmana (1997) tata cara tanam benih jagung secara monokultur (satu jenis tanaman jagung):
a.   Buat lubang dengan  menggunakan alat bantu tugal sedalam 2 cm – 5 cm.
b.   Atur lubang tanam yang lain dengan jarak tanam 100 cm x 40 cm atau 100 cm x 25 cm.Tanamkan benih jagung sebanyak 2 butir/lubang untuk jarak tanam 100 cm x 25 cm.
c.   Tutup lubang tanam dengan tanah tipis tanpa dipadatkan.
d.   Bersamaan pada waktu tanam dilakukan pemupukan dasar dengan dosis adalah Urea 100 kg, TSP 100 kg dan KCl 50 kg per hektar atau sekitar 5 g – 6 g campuran pupuk pertanaman dengan cara ditugal kekiri kanan tanaman sedalam 10 cm dan sejauh 7 cm dari tanaman.
Tim Karya Tani Mandiri (2010) persyaratan tanam tanaman jagung ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu kedalaman penempatan benih, populasi tanaman, cara tanam dan lebar alur/jarak tanam.
  1. Kedalaman penempatan benih.
Kedalaman penempatan benih bervariasi antara 2.5 – 5 cm, bergantung pada kondisi tanah. Pada tanah yang kering penempatan benih agak lebih dalam.
  1. Populasi tanam.
Populasi tanaman umumnya bervariasi antara 20.000 – 200.000 tanaman/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi tanaman optimal untuk empat varitas yang diuji (Bisma, Semar 10, Lamuru dan Sukmaraga) adalah 66.667 tanaman/ha.

  1. Cara tanam.
Penempatan benih jagung di tanah adalah pada alur-alur yang dibuat teratur atau benih ditanam dengan jarak teratur dalam alur (hill drop) sehingga memungkinkan penyiangan mekanis dua arah.
  1. Jarak tanam.
Syarat lain yang perlu diperhatikan agar tanaman dapat berkembang secara optimal adalah jarak tanam. Penentuan jarak tanam jagung dipengaruhi oleh varitas yang ditanam, pola tanam dan kesuburan tanah.
Jarak tanam jagung yang umum digunakan adalah 75 cm x 25 cm, 80 cm x 25 cm, 75 cm x 40 cm dan 80 cm x 40 cm dengan dua benih/lubang.

3.      Pemeliharaan tanaman
Menurut Rahmat Rukmana (1997) pemeliharaan tanaman jagung dilapangan (kebun) meliputi kegiatan:
  1. Penyulaman.
Penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam dengan cara membuat lubang tanam pada bekas tempat tanam yang benihnya tidak tumbuh (mati) sebanyak dua butir benih jagung dan lubang tanam ditutup dengan tanah tipis-tipis.
Tim Karya Tani Mandiri (2010) penyulaman dilakukan sepekan setelah penanaman, jika ada yang rusak atau tidak tumbuh segera dilakukan penyulaman. Maksudnya agar jumlah tanaman persatuan luas tetap optimum sehingga target produksi tercapai. Sedangkan penjarangan dilakukan 2 – 3 pekan setelah tanam dengan memotong batang tanaman (pertahankan tanaman yang sehat dan kokoh).
  1. Pengairan.
Di daerah atau tanah-tanah yang kering pengairan biasanya dilakukan 1 – 2 minggu sekali atau tergantung pada keadaan. Cara pengiran adalah dengan mengalirkan air melalui sasluran pemasukan air, selanjutnya lahan dileb selama beberapa waktu hingga tanahnya cukup basah.
Tim Karya Tani Mandiri (2010) pengairan ada dua cara yaitu cara pembuatan alur irigasi dan cara pompa/pemompaan. Dengan cara pembuatan alur irigasi Balitsereal telah merancang prototipe alat pembuat alur irigasi yang sangat efisien yaitu PAI-1R dan PAI-2R Balitsereal. Pemberian air pada musim kemarau dilakukan dengan cara memompa air tanah dengan kedalaman sumur   3,8 – 9,0 m.  Jenis   pompa  yang   umum   digunakan   adalah  sentrifugal
dengan diameter 2,0 inchi (4,0 HP) dan diameter 3,0 inchi (5,0 HP). Sedangkan dengan cara pompa dan pemompaan yaitu pompa air merupakan alat pengangkut air dari suatu tempat ke tempat yang lain. Tujuan pemompaan adalah untuk menyediakan air bagi tanaman yang karena alasan teknis tidak dapat diairi. Terdapat berbagai pompa diantaranya pompa aksial, pompa sentrifugal dan pompa piston. Balitsereal telah menghasilkan jenis pompa aksial tegak model PT-4D-M1 yang lebih hemat. Spesifikasi, kinerja dan biaya pemompaan air tanah dangkal dengan prototipe pompa aksial tegak model PT-4D-M1.
  1. Penjarangan Tanaman.
Penjarangan dilakukan dengan cara men tanaman yang tumbuhnya kurang baik dan disisakan 1 – 2 tanaman yang sehat pertumbuhannya pada setiap lubang tanam. Waktu penjarangan tanaman yang baik dilakukan pada umur 2 – 3 minggu setelah tanam, bersama-sama dengan kegiatan penyiangan.
  1. Penyiangan dan Pembubunan.
Penyiangan dilakukan pada umur kurang lebih 15 hari yaitu men seluruh rumput yang ada dan tidak merusak akar tanaman dengan menggunakan tangan, kored, cangkul atau alat lainnya. Pada saat penyiangan dilakukan bersama-sama dilakukan pembubunan pada bidang pangkal batang tanaman sehingga membentuk guludan kecil, sehingga batang tanaman dapat kokoh tidak mudah rebah dan merangsang pertumbuhan akar secara leluasa. Penyiangan dan pembubunan kedua dilakukan pada umur tanaman 40 hari setelah tanam.
Tim Karya Tani Mandiri (2010) penyiangan gulma memerlukan curahan tenaga kerja yang cukup tinggi karena dilakukan dua kali secara manual dengan bantuan sabit atau cangkul, kegiatan ini sering menghadapi masalah terutama daerah yang kekurangan tenaga kerja sehingga tanaman kurang terawat dan berdampak terhadap penurunan hasil.
Penyiangan gulma dengan menggunakan herbisida salah satu cara pengendalian gulma yang dapat menekan penggunaan tenaga kerja. Balitsereal telah menghasilkan alsin (alat mesin) dengan model IRRI-M7 yang mampu mengefisienkan tenaga dan biaya penyiangan jagung. Dengan peanggunaan alat ini dapat mampu mereduksi kerja penyiangan dari 20 hari orang kerja (HOK) menjadi 1,5 HOK.
Sedangkan pembumbunan tanaman umumnya dilakukan petani dengan menggunakan cangkul, tanah disekitar tanaman diambil dengan cangkul dan dipindahkan disekitar perakaran tanaman. Cara seperti ini efetif memperkuat perakaran tanaman. Ditinjau dari produktivitas kerja kegiatan pembumbunan konvensional ini sangat melelahkan dan berbiaya tinggi, untuk membumbun lahan seluas 1 ha dipearlukan waktu 176 jam. Dalam upaya perbaikan sistem pembumbunan dan peangairan ditingkat petani telah dilakukan perancangan dan pembuatan alat pembuat alur irigasi/pembumbun model PAI-M1 dan PAI-M2. Ditinjau dari kapasitas kerja, lebar dan kedalaman bumbun maka alat pembuat alur lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan cangkul atau bajak.  
  1. Pemupukan Susulan.
Pupuk susulan I dilakukan 2 – 4 minggu setelah tanam yaitu pupuk urea diberikan 100 kg per hektar dengan cara larikan atau tugal kiri kanan tanaman sedalam 100 cm dan sejauh 15 cm dari tanaman. Pupuk susulan II dilakukan pada umur 5 – 6 minggu setelah tanam yaitu pupuk urea diberikan 100 kg per hektar dengan cara seperti pada pemupukan susulan I.
Tim Karya Tani Mandiri (2010) pemupukan dalam praktiknya yang perlu diperhatikan adalah jenis pupuk dan takaran optimum pada jenis tanah dan lingkungan tertentu. Untuk itu penelitian laboratorium, rumah kaca dan lapangan sangat diperlukan. Analisis kimia tanah harus dilengkapi dengan informasi tentang tanah, tanaman dan analisis tanaman.
Hasil penelitian dengan menggunakan tiga varitas hibrida dan dua varitas komposit mununjukkan bahwa takaran pupuk urea yang optimal untuk varitas hibrida adalah 420 kg/ha sedangkan untuk varitas komposit 350 kg/ha. Pemberian pupuk P perlu dicermati karena tidak semua tanah memerlukan tambahan pupuk P. Pada tanah laqhan kering jenis tanah vulkanis, tanaman jagung kurang tanggap terhadap pemberian P. Pada tanah berkapur, pemberian TSP dengan takaran 100 – 200 kg/ha masih menunjukkan efisiensi pemupukan yang memadai. Seperti halnya pupuk P, pupuk K juga harus dicermati karena pemupukan K pada umumnya kurang memberikan tanggapan kecuali pada tanah grumosol dengan K-dd (K dapat ditukar) 0,24 me/100 g, tanah aluvial dengan K-dd 0,27 me/100 g, dan tanah podsolik dengan K-dd kurang dari 0,30 me/100 g. Pada tanah-tanah tanggapan tersebut pemberian 50 – 100 kg KCl/ha memperlihatkan efisiensi yang tinggi terutama pada tanah grumosol (37,2) dan podsolik (16,0).
Teknis pemberian pupuk dengan cara membenamkan ke dalam tanah memberikan hasil yang lebih tinggi dibanding dengan apabila pupuk diletakkan diatas tanah.
Pemberian pupuk urea sebaiknya tiga kali pada 7, 25 dan 40 hari setelah tanam atau dua kali pada 7 dan 35 hari setelah tanam dengan cara tugal 7 – 10 cm disamping tanaman dan tutup dengan tanah. Pupuk P dan K diberikan pada umur 7 hari setelah tanam dan pupuk organik diberikan pada saat tanam sebagai penutup benih atau lubang tanam.
Menurut Redaksi Agromedia (2007) aplikasi pupuk ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan yaitu jenis tanaman yang harus dipupuk, jenis pupuk yang digunakan dan waktu pemberian yang tepat. Jika ketiga hal ini terpenuhi, maka efisiensi dan efektivitas pemupukan akan tercapai. Berdasarkan aplikasinya, pupuk dibedakan atas dua kelompok yaitu pupuk akar dan pupuk daun. Pupuk akar  pemberiannya dapat dilakukan dengan ditebarkan langsung dipermukaan tanah, ditaburkan dalam barisan antartanaman, dibenamkan ke dalam tanah atau dikocor di dekat batang tanaman. Sedangkan pupuk daun pemberian dilakukan lewat daun       dengan cara melarutkan pupuk ke dalam air dengan konsentrasi tertentu. Setelah itu larutan disemprotkan ke permukaan daun dengan mengikuti dosis sesuai anjuran di label kemasan. Kemudian cara lain untuk menentukan konsentrasi larutan pupuk adalah dengan menggunakan EC (Elektro Condutivity) meter. EC merupakan alat untuk mengukur hantaran listrik atau lazim disebut elektrokonduktivitas. Semakin tinggi angka EC, maka konsentrasi anion dan kation akan semakin tinggi pula.
  1. Pengendalian Hama dan Penyakit.
Pengendalian secara fisik dan mekanis dilakukan dengan cara:
1)   Mengumpulkan dan memusnahkan organisme hama atau penyakit secara langsung.
2)   Memangkas bagian tanaman yang terserang hama dan penyakit.
3)   Penjemuran atau pengeringan benih jagung sebelum ditanam.
Pengendalian secara kultur teknis dilakukan dengan mengatur penanaman secara serempak, pergiliran (rotasi) tanaman, pengolahan tanah yang sempurna, penyiangan gulma, pemupukan berimbang dan perbaikan aerasi dan drainase tanah.
Tim Karya Tani Mandiri (2010) hama dan penyakit yang umumnya sering menggangu  pertumbuhan tanaman jagung yaitu hama penggerek batang, hama penggerek tongkol dan penyakit bulai (peronoscleropora spp).

1)   Hama penggerek batang.
·         Gejala.
Adanya lubang gerekan pada batang dengan kotoran menutupi lubang gerekan.
·         Penyebabnya.
Ostrinia furnacales guence. Ngengat betina bertelur mencapai 90 butir, tersusun rapi dalam satu kelompok. Periode telur 3 – 5 hari. Larva instar I dan II memakan daun muda. Larva instar III menggerek batang. Stadia larva antara 19 – 28 hari. Pupa terbentuk dalam batang jagung. Stadia pupa antara 5 – 10 hari. Siklus hidup sekitar satu bulan.
·         Pengendalian terpadu.
Komponen pengendalian terpadu meliputi:
Ø      Pergiliran tanaman.
Ø      Tanaman serempak.
Ø      Sanitasi inang liar.
Ø      Pemangkasan bunga jantan 25%.
Ø      Pemberian Biopesisida Dipel (Basillus thurin-giensis).
Ø      Aplikasi insektisida.
2)   Hama penggerek tongkol.
·         Gejala.
Adanya lubang-lubang melintang pada daun stadia vegetatif. Rambut tongkol jagung terpotong, ujung tongkol ada baka gerekan dan seringkali ada larvanya.

·         Penyebabnya.
Helikoverpa armigera (Hbn), telur diletakkan satu persatu pada rambut tongkol atau bagian tanaman lain waktu sore atau malam hari. Banyaknya telur per ekor ngengat mencapai 1.000 butir. Stadia telur 2 – 5 hari, larva mengalami 6 instar dalam periode waktu 17 – 24 hari. Pupa terbentuk di dalam tanah selama 12 – 24 hari. Satu siklus hidunya sekitar 35 hari.
·         Pengendalian terpadu.
Komponen pengendalian terpadu meliputi:
Ø      Menanam varitas jagung yang kelobotnya menutup tongkol rapat.
Ø      Menggunakan musuh alami seperti:
Parasit telur Tricogramma, parasit telur larva muda Eriborus sp, tachinid, cendawan Entomopaga Metharhizium, dan penyemprotan insektisida pada ambang kerusakan 3 tongkol/50 tanaman.
3)   Penyakit Bulai ((peronoscleropora spp).
·         Gejala.
Ø      Khlorose sebagian atau keseluruh helaian daun. Pada permukaan yang khlorose tampak ada masa tangkai konidia berupa tepung . Konidia terbentuk pada malam hari dan lepas menjelang pagi hari.
Ø      Tanaman terinveksi awal terjadi khlorose berat dan dapat mati atau tumbuh kerdil.
Ø      Tongkol tidak tumbuh sempurna dan sering tidak terbentuk biji atau bijinya jarang.

·         Penyebabnya.
Cendawan peronosclerospora Maydis, P. philippinesis, P. sacchari, P. sorghi, dll. Cendawan menginveksi tanaman jagung yang baru tumbuh. Konidia yang lepas dari konidiofor diwaktu subuh apabila jatuh pada air gutasi di pucuk tanaman jasgung yang baru tumbuh akan berkecambah dan menginveksi melalui stomata terus berkembang sampai titik tumbuh dan seterusnya menebar secara sistemik.
·         Pengendalian.
Komponen pengendalian untuk PHT meliputi:
Ø      Varitas tahan bulai: Lagaligo, Surya, Bisi-4, Pioner P4, P5, P9, P10, P12.
Ø      Tanam serempak.
Ø      Periode bebas tanaman jagung.
Ø      Aplikasi fungisida berbahan aktif metalaksil melalui biji.

4.      Panen
Menurut Rahmat Rukmana (1997) saat panen jagung untuk dikonsumsi sebagai jagung rebus atau jagung bakar adalah pada stadium tongkol setengah tua yaitu tongkol berukuran maksimum, berbiji penuh, padat dan bila biji ditekan tampak bekas melekuk.
Pada skala usaha komersial, panen tongkol jagung dilakukan setelah mencapai stadium tua (matang fisiologis) karena biji-biji akan dikeringkan. Ciri-ciri tongkol jagung matang fisiologis:
  1. Tongkol berumur 7 – 8 minggu setelah keluar bunga.
  2. Kelobot tongkol sudah berwaarna kuning atau  kekuning-kuningan.
  3. Bila biji ditekan dengan tangan tidak meninggalkan bekas melekuk, artinya sudah padat.
  4. Tampak biji jagung berwarna kuning.
  5. Kadar air dalam biji sudah mencapai 35 % -  40 %.
Waktu panen yang terlalu awal atau tongkol belum mencapai matang fisiologis dapat menyebabkan penurunan kualitas produksi yaitu persentase butir muda cukup tinggi dan daya simpan rendah. Sebaliknya panen jagung yang terlambat menyebabkan kerusakan biji akibat deraan lingkungan dan terserang hama.
Cara panen jagung umumnya dilakukan secara manual yaitu dipetik dengan tangan dan teknik pemanenan adalah ditentukan terlebih dahulu tanaman yang bertongkol matang fisiologis (tua) serta pemanenan dilakukan pada keadaan cuaca cerah (terang) untuk mencegah biji jagung jangan terserang jamur.
Tim Karya Tani Mandiri (2010) ciri jagung yang siap dipanen adalah:
a.       Umur panen adalah 86 – 96 hari setelah tanam.
b.      Jagung siap dipanen dengan tongkol atau kelobot mulai mongering yang ditandai dengan adanya lapisan hitam pada biji bagian lembaga.
c.       Biji kering, keras dan mengkilat, apabila ditekan tidak membekas.
Cara panen jagung yang matang fisiologis adalah dengan cara memutar tongkol berikut kelobotnya atau dapat dilakukan dengan mematahkan tangkai buah jagung. Pada lahan yang luas dan rata sangat cocok bila menggunakan alat mesin pemetikan.


C.    Penyuluhan
Totok Mardikanto (2009) penyuluhan diartikan sebagai proses penyebar-luasan informasi, penyebar-luasan dalam ini merupakan penyebarluasan tentang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dihasilkan oleh perguruan tinggi ke dalam praktek atau kegiatan praktis.
Implikasi dari pengertian ini adalah:
  1. Sebagai agen penyebaran informasi, penyuluh tidak boleh hanya menunggu aliran informasi (peneliti, pusat informasi, institusi pemerintah, dll) melainkan harus secara aktif berburu informasi yang bermanfaat dan atau dibutuhkan oleh masyarakat yang menjadi kliennya.
  2. Penyuluh harus aktif untuk menyaring informasi yang diberikan atau yang diperoleh klliennya dari sumber-sumber yang lain, baik yang menyangkut kebijakan, produk, metoda, nilai-nilai perilaku, dll. Hal ini penting, karena disamping dari penyuluh, mayarakat seringkali juga memperoleh informasi/inovasi dari sumber-sumber lain (aparat pemerintah, produsen/pelaku bisnis, media masa, LSM) yang tidak selalu benar dan bermanfaat/menguntungkan masyarakat/kliennya.
  3. Penyuluh perlu lebih memperhatikan informasi dari dalam baik yang berupa kearifan tradisonal maupun endegenuous technology. Hal ini penting, karena informasi yang berasal dari dalam, disamping telah teruji oleh waktu, seringkali juga lebih sesuai dengan kondisi setempat baik ditinjau dari kondisi fisik, teknis, ekonomi, social/budaya maupun kesesuainya dengan kebutuhan pengembangan komunitas setempat.
  4. Pentingnya informasi yang menyangkut hak-hak politik masyarakat, disamping seperti inovasi teknologi, kebijakan, manajemen dll. Hal ini penting, karena yang untuk pelaksanaan kegiatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seringkali sangat tergantung kepada kemauan dan keputusan politik.
Penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku, dalam perkembangannya penyuluhan tidak sekedar diartikan sebagai kegiatan penerangan yang bersifat searah (one way) dan pasif, tetapi penyuluhan adalah proses aktif yang memerlukan interaksi antara penyuluh dan yang disuluh agar terbangun proses perubahan “perilaku” (behaviour) yang merupakan perwujudan dari pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang yang diamati oleh orang/pihak lain, baik secara langsung (berupa ucapan, tindakan, bahasa tubuh, dll) maupun tidak langsung (melalui kinerja dan atau hasil kerjanya). Dengan kata lian, kegiatan penyuluhan tidak berhenti pada “penyebarluasan informasi/inovasi”, dan “memberikan penerangan” tetapi merupakan proses yang dilakukan secara terus menerus sekuat tenaga dan pikiran, memakan waktu dan melelahkan sampai terjadinya perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh penerima manfaat penyuluhan (benevicaries) yang menjadi klien penyuluhan.
Implikasi dari pengertian perubahan perilaku ini adalah:
  1. Harus diingat bahwa perubahan perilaku yang diharapkan tidak hanya terbatas pada masyarakat/klien yang menjadi sasaran utama penyuluhan, tetapi penyuluhan harus mampu mengubah perilaku semua stakeholders pembangunan, terutama aparat pemerintah selaku pengambil keputusan, pakar, peneliti, pelaku bisnis, aktivis LSM, tokoh masyarakat dan stakeholders pembangunan yang lainnya.
  2. Perubahan perilaku yang terjadi, tidak terbatas atau berhenti setelah masyarakat/klien mengadopsi (menerima, menerapkan, mengikuti) informasi/inovasi yang disampaikan tetapi juga termasuk untuk selalu siap melakukan perubahan-pearubahan terhadap inovasi yang sudah diyakininya, manakala ada informasi/inovasi/kebijakan baru yang lebih bermanfaat bagi perbaikan kesejahteraannya.
  3. Perubahan perilaku yang dimaksudkan tidak terbatas pada kesediaannya untuk menerapkan/menggunakan inovasi yang ditawarkan, tetapi yang lebih penting dari kesemuanya itu adalah kesediaannya untuk terus belajar sepanjang kehidupannya secara berkelanjutan (life long education). 

D.    Evaluasi, Inovasi, Adopsi dan Penerapan
Penerimaan suatu inovasi yang telah disampaikan oleh penyuluh kepada masyarakat sasaran (petani) dapat diamati lansung dan tidak lansung oleh orang lain melalui suatu kegiatan evaluasi sebagai cerminan dari adanya perubahan pengetahuan, sikap dan ketrampilan.
Seepersad dan Henderson. (1984) dalam Mardikanto.T. (2009) mengartikan evaluasi sebagai kegiatan sistimatis yang dimaksudkan untuk melakukan pengukuran dan penilaian terhadap sesuatu objek berdasarkan pedoman yang telah ada.
Beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam pengertian evaluasi sebagai kegiatan terencana dan sistematis adalah meliputi, a) pengamatan untuk pengumpulan data atau fakta, b) penggunaan pedoman yang telah ditetapkan, c) pengukuran atau membandingkan hasil pengamatan dengan pedoman yang sudah ditetapkan terlebih dahulu, d) pengambilan keputusan atau penilaian, (Mardikanto. 2009).
Pada dasarnya kegiatan penyuluhan ditujukan untuk tercapainya perubahan prilaku masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup, oleh karena itu pesan-pesan atau inovasi yang terdapat dalam penyuluhan harus mampu mendorong terjadinya perubahan yang dimaksud tersebut. Lionberger dan Gwin. (1982) dalam Mardikanto.T, (2009) mengartikan inovasi sebagai sesuatu yang dinilai baru yang dapat mendorong terjadinya perubahan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu.
Suatu proses penyuluhan dapat dikatakan tepat sasaran apabila pesan-pesan yang terkandung dalam suatu inovasi dapat diadopsi atau diterima oleh masyarakat sasaran (petani). Adopsi dalam penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai proses penerimaan suatu inovasi dan atau perubahan prilaku baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun ketrampilan (psycomotoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh kepada masyarakat sasaran, (Mardikanto. T. 2009).
Penerimaan suatu inovasi oleh petani mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkan dengan benar dalam usahataninya. Adopsi inovasi dapat dilihat jika petani sebagai sasaran penyuluhan telah memberikan tanggapan (respon) berupa perubahan prilaku (Berlo. (1961), dalam Mardikanto, T. 2009).
Dalam proses adopsi inovasi petani sasaran mengambil keputusan melalui beberapa tahapan, menurut Anonimous (2008) ada lima tahapan yang dilalui sesorang sebelum mengadopsi suatu inovasi, yaitu sadar (awareness), minat (interest), menilai (evaluation), mencoba (trial) dan mengadopsi atau menerima (adoption). Penilaian tingkat adopsi suatu inovasi dapat dilaksanakan dengan menggunakan tolak ukur tingkat mutu intensifikasi, yaitu dengan membandingkan antara rekomendasi yang ditetapkan dengan penerapan yang dilakukan petani, (Mardikanto. T. 2009).
Kecepatan adopsi suatu inovasi oleh petani sebagai sasaran dapat digolongkan menjadi lima, yaitu, golongan pelopor, pengetrap dini, pengetrap awal, pengetrap akhir dan penolak, Anonimous (2008).
 Menurut Hadi. A.P (1997), bahwa tingkat penerapan suatu teknologi oleh petani dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : a) Faktor personal petani sasaran, yang meliputi umur, pendidikan, latar belakang budaya dan prilaku sasaran, b) Faktor situasional, yang meliputi keadaan alam, pengaruh keluarga dan kelompok sosial dan kebijakan pemerintah, c) Karakteristik teknologi, yang meliputi kerumitan teknologi, sarana pendukung penerapan teknologi kurang tersedia dan teknologi tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 











III.    METODE PELAKSANAAN
A.    Waktu dan Tempat
Kegiatan evaluasi penerapan petani dalam teknologi budidaya jagung  dilaksanakan mulai dari 21 Maret sampai 27 Mei 2011 di BPP Medan Krio,   Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang.

B.     Alat dan Bahan
1.      Alat.
Alat yang digunakan adalah pena (pulpen), kertas dan komputer untuk mengolah data.
2.      Bahan
Bahan yang digunakan adalah kuisioner untuk pengambilan dan pengumpulan data, data primer dan data sekunder.

C.    Definisi Operasional
Dalam evaluasi ini agar tidak bias (menyimpang) dari tujuan evaluasi yaitu untuk mengetahui tingkat penerapan petani dalam teknologi budidaya jagung, maka ditetapkan definisi operasional penerapan teknologi budidaya tanaman jagung yang meliputi: penerapan penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan panen.
1.      Tingkat penerapan petani tentang penyiapan lahan: petani melakukan pengolahan tanah denngan sistem tanpa olah tanah (TOT) yaitu melakukan pendongkelan sisa-sisa tanaman dan kemudian langsung ditanam benih jagung, sistem olah tanam sempurna (OTS) yaitu melakukan pembersihan pepohonan yang tidak berguna dan rumput-rumput liar dari arel lahan, olah tanah dengan cara dicangkul atau dibajak dua kali sedalam 15 cm – 30 cm hingga tanah menjadi gembur, biarkan tanah kering angina selama 7 – 14 hari, buat petakan-petakan atau guludan-guludan yang dilengkapi dengan pasit keliling. Petakan berukuran lebar 2 m – 3 m, tinggi 20 cm dan panjangnya tergantung kedaaan lahan. Bila lahan dipersiapkan dalam bentuk guludan-guludan, ukuran lebarnya antara 40 cm – 60 cm diantara guludan dibuat saluran atau parit sselebar 30 cm dan sistem olah tanah minimum (OTM) yaitu: melakukan pencangkulan pada bidang tanah yang akan ditanami benih jagung saja, bidang pencangkulan memanjang sesuai dengan tempat yang akan dijadikan barisan tanaman jagung, pencangkulan cukup selebar 20 cm – 30 cm dan kedalamannya antara 15 cm – 20 cm dan ditutup permukaan tanah dengan mulsa jerami atau daun-daun kering.
2.      Tingkat penerapan petani tentang penanaman benih: Petani melakukan pembuatan lubang tanam dengan  menggunakan alat bantu tugal sedalam 2 cm – 5 cm, jarak tanam 100 cm x 40 cm atau 100 cm x 25 cm, benih ditanam  sebanyak 2 butir/lubang untuk jarak tanam 100 cm x 25 cm,  melakukan penutupan lubang tanam dengan tanah tipis tanpa dipadatkan dan melakukan bersamaan pada waktu tanam pemberian pupuk dasar dengan dosis adalah Urea 100 kg, TSP 100 kg dan KCl 50 kg per hektar atau sekitar 5 g – 6 g campuran pupuk pertanaman dengan cara ditugal kekiri kanan tanaman sedalam 10 cm dan sejauh 7 cm dari tanaman.
3.      Tingkat penerapan petani tentang kegiatan pemeliharaan tanaman jagung yang meliputi kegiatan:

a.       Pemupukan.
Petani melakukan pemupukan N sebagai pupuk susulan I dilakukan 2 – 4 minggu setelah tanam yaitu pupuk urea diberikan 100 kg per hektar dengan cara larikan atau tugal kiri kanan tanaman sedalam 100 cm dan sejauh 15 cm dari tanaman dan melakukan pemupukan susulan II dilakukan pada umur 5 – 6 minggu setelah tanam yaitu pupuk urea diberikan 100 kg per hektar.
b.      Penyulaman
Petani melakukan penyulaman satu minggu setelah tanam.
c.       Pengairan.
Petani melakukan pengairan 1 – 2 minggu sekali pada musim kering atau tergantung pada keadaan.
d.      Penjarangan.
Petani melakukan penjarangan tanaman 2 – 3 minggu setelah tanam dengan menyisakan 1 – 2 tanaman yang sehat pertumbuhannya pada setiap lubang tanam.
e.       Penyiangan.
Petani melakukan penyiangan 15 hari setelah tanam dengan menggunakan tangan, kored, cangkul atau alat lainnya dan pada saat penyiangan dilakukan bersama-sama pembubunan pada bidang pangkal batang. Dan Penyiangan dan pembubunan kedua dilakukan pada umur tanaman 40 hari setelah tanam.


f.       Pengendalian hama dan penyakit.
Petani melakukan pengendalian hama penyakit secara fisik dan mekanis dengan cara: mengumpulkan dan memusnahkan organisme hama atau penyakit secara langsung, membuang bagian tanaman yang terserang hama dan penyakit dan penjemuran atau pengeringan benih jagung sebelum ditanam. Dan pengendalian secara kultur teknis dilakukan dengan mengatur penanaman secara serempak, pergiliran (rotasi) tanaman, pengolahan tanah yang sempurna, penyiangan gulma, pemupukan berimbang, perbaikan aerasi dan drainase tanah.      
4.      Tingkat penerapan petani tentang melakukan panen yang dianjurkan meliputi atau sebagai indikator: Waktu panen, cara panen, ciri-ciri panen.
a.       Waktu panen.
Petani melakukan panen terlalu awal atau sebaliknya petani melakukan  panen jagung yang terlambat.
b.      Cara panen.
Petani melakukan panen dengan cara dengan menggunakan alat mesin pemetikan atau dengan menggunakan cara memutar tongkol dan atau mematahkan tangkai buah jagung.
c.       Ciri-ciri panen.
Petani melakukan panen jagung dengan ciri panen, buah jagung telah adanya lapisan hitam pada biji bagian lembaga, biji kering, keras dan mengkilat, apabila ditekan tidak membekas.



D.    Metode Evaluasi
1.      Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data dalam evaluasi terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dengan petani responden dalam pengisian kuesioner. Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari kantor kelurahan, dinas atau instansi pertanian dan berbagai sumber yang terkait dengan materi evaluasi ini.

2.      Populasi dan Sampel
Populasi dan sampel yang menjadi unit evaluasi adalah Komunitas anggota kelompok tani jagung di Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang.
Penentuan jumlah sampel dalam evaluasi ini menggunakan penentuan jumlah sampel menurut Riduwan. (2008) yaitu, apabila subjek kurang dari 100 maka lebih baik diambil semuanya tapi apabila lebih dari 100 maka penarikan sampel menggunakan rumus Taro Yamane atau Slovin :
Dimana : n = Jumlah sampel
               N = Jumlah populasi
                d = Presisi (ditetapkan 15% dengan tingkat kepercayaan 85 %)
Jumlah populasi petani jagung di Kecamatan Sunggal 1472 orang (N) dan presisi yang ditetapkan sebesar 15% (d),  maka jumlah sampel (n) petani jagung adalah:
         
Jadi jumlah sampel yang ditetapkan dalam evaluasi ini sebesar 43 orang petani jagung di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.

3.      Teknik Pengambilan Sampel
Teknik penarikan sampel yang digunakan dalam evaluasi ini adalah Rancangan Sampel Probabilitas (Probability Sampling Design) artinya penarikan sampel didasarkan atas pemikiran bahwa keseluruhan unit populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel, dengan demikian tidak terdapat diskriminasi unit populasi yang satu dengan yang lainnya, (Bungin. B. 2009)
  Teknik ini dipilih karena yang akan diukur dalam evaluasi ini adalah tingkat penerapan semua petani dalam teknologi budidaya jagung harus yang homogen, sehingga diharapkan dengan teknik penarikan sampel ini  akan dihasilkan petani sampel yang menerapkan budidaya tanaman jagung di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.
Karena semua unit populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel, maka unit populasi tersebut harus di random (acak). Adapun cara random yang digunakan adalah cara ordinal (tingkatan sama) dengan mempersiapkan daftar rekapitulasi unit populasi sampel terlebih dulu, kemudian ditentukan angka kelipatan awal dengan membuat gulungan kertas yang berisi nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan diacak, jika sewaktu dibuka tertera angka 3 maka angka awal adalah nomor 3 dengan kelipatan atau melompat 5 nomor setiap unit populasi.
Artinya unit populasi yang bernomor tersebut di daftar rekapitulasi populasi yang telah disiapkan dapat dijadikan sampel, (Arikunto. S. 2006). Cara ini dipilih untuk menghindari kesengajaan memilih populasi tertentu untuk dijadikan sampel yang berakibat data yang diperoleh tidak akurat.

4.      Teknik pengujian instrument
Sebelum instrumen kuisioner yang telah ditetapkan sebagai alat ukur benar-benar dipakai sebaiknya terlebih dulu dilakukan uji coba yang dimaksudkan untuk memperoleh kuisioner yang lebih sempurna dan lengkap melalui uji validitas dan reliabilitas.
Menurut Bungin. B. (2009), bahwa yang dimaksud dengan reliabilitas alat ukur adalah kesesuaian alat ukur dengan yang diukur, sehingga alat ukur tersebut dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Sedangkan validitas alat ukur adalah akurasi atau ketepatan alat ukur terhadap yang diukur walaupun dilakukan berkali-kali dan dimana-mana.
Menurut Riduwan. (2009) untuk menghitung validitas alat ukur digunakan rumus Pearson Product Moment sebagai berikut :
     
Keterangan :     Koefisien korelasi
                                 Jumlah skor tiap-tiap item
                                  Jumlah skor total seluruh item
                                   Jumlah responden
Selanjutnya hasil  diuji dengan Uji t dengan rumus :
Keterangan : t  = Nilai
                      Koefisien korelasi hasil
                     n  = Jumlah responden
Dengan kaidah keputusan, jika t hitung > t tabel berarti valid dan sebaliknya jika t hitung < t tabel berarti tidak valid. Dan jika kuisioner valid maka dilihat kriteria penafsiran mengenai indeks korelasinya sebagai berikut
Antara 0,800 – 1,000 : sangat tinggi
Antara 0,600 – 0,799 : tinggi
Antara 0,400 – 0,599 : cukup
Antara 0,200 – 0,399 : rendah
Antara 0,000 – 0,199 : sangat rendah (tidak valid)
Sedangkan untuk uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product moment dapat dihitung harga ri sebagai harga untuk mengukur reliabilitas intrumen, caranya: pengujian reliabilitas di uji dengan test-retest dilakukan dengan cara mencobakan instrument sebanyak dua kali atau beberapa kali pada responden, lalu hasil dari uji coba pertama dimasukkan atau ditabulasi dalam tabel untuk mendapatkan total X1 dan uji coba kedua X2 juga dilakukan untuk mendapatkan total X2.  Dalam hal ini respondennya sama, instrumennya sama dan waktunya berbeda. Setelah itu harga skor total dari kedua uji coba dimasukkan kedalam tabel penolong, agar perhitungan koefisien korelasi dapat dilakukan dengan mudah. Kemudian reliabilitas diukur dari koefisien korelasi antara percobaan pertama (X1) dengan yang kedua (X2)  (Sugiyono,                     2009),

dengan rumus:
Keterangan :  Nilai reliabilitas instrumen
                       Jumlah responden
                      Varians skor tiap-tiap item
                       Varians skor semua item
Setelah diperoleh Harga hitung, selanjutnya untuk dapat diputuskan intrumen tersebut reliabel atau tidak , harga tersebut dikonsultasikan dengan harga r table. Dengan n = 43 taraf kesalahan 5 % diperoleh 0,444 dan taraf kesalahan 1 % = 0, 561. Jika ri hitung lebih besar dari r tabel maka instrumen tersebut dikatakan reliabel dan dapat dipergunakan untuk penelitian.
Dalam perkembangan teknologi yang akhir-akhir ini semakin pesat, maka setelah data hasil uji validitas dan reliabilitas diperoleh selanjutnya data tersebut ditabulasi dan kemudian diolah dengan program komputer SPSS 17.
5.      Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain :
a.   Observasi yaitu atau pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap kondisi objek evaluasi.
b.   Kuesioner adalah teknik pengumpulan data dengan cara membagikan suatu daftar pertanyaan kepada responden untuk diisi.
c.   Metode wawancara (Intervew) yaitu suatu proses memperoleh keterangan untuk tujuan evaluasi dengan tanya jawab antara pewawancara dengan responden atau yang diwawancarai.

6.      Teknik Analisis Data
Evaluasi Penyuluhan Penerapan teknologi budidaya jagung (Zea Mays) di Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang adalah kegiatan evaluasi untuk mengukur seberapa jauh tingkat penerapan atau sikap petani responden terhadap pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, dan panen dalam budidaya tanaman jagung yang telah disampaikan penyuluh dan untuk mengukur sikap tersebut dalam evaluasi ini digunakan Skala Likert.
Menurut Riduwan. (2008) dengan menggunakan Skala Likert item kuisioner yang berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh responden dihubungkan dengan bentuk pernyataan atau dukungan sikap :
Sangat Menerapkan            (SM)                 = 5
Menerapkan                        (M)       = 4
Kadang Menerapkan           (KM)    = 3
Tidak Menerapkan              (TM)     = 2
Sangat Tidak Menerapkan  (STM)   = 1
Selanjutnya data yang diperoleh dari jawaban kuisioner masing-masing responden dalam penerapan budidaya yang diukur yakni berupa angka ditabulasi dan hasil tabulasi dianalisis dengan menggunakan rumus :
N = Skor yang diperoleh  X 100%
           Skor ideal
Keterangan : 
  N                              = Tingkat penerapan budidaya (%)
  Skor yang diperoleh = Skor masing-masing penerapan budidaya
  Skor ideal                 = Skor maksimum masing-masing penerapan    budidaya
  Kriteria penilaian skor adalah :
a. 0% - 40%,  artinya tingkat penerapan budidaya bayam putih cabut  tergolong rendah.
b. 41% - 60%,  artinya tingkat penerapan budidaya putih cabut tergolong sedang
c.61% - 100%,  artinya tingkat penerapan bididaya putih cabut tergolong tinggi.


















E.     Kerangka Pikir
Text Box: TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN  JAGUNG
Text Box: EVALUASI
 








Text Box: PENERAPAN














                                                                                            

DAFTAR PUSTAKA
AAK, 2007. Dasar-dasar Bercocok Tanam. Kanisius. Yogyakarta.

Agromedia Redaksi, 2007. Petunjuk Pemupukan. Agromedia Pustaka. Jakarta.

------------2009. Deveinisi Evaluasi. http://wakhinuddin.wordpress.com.21 Maret 2011.

Anonim. 2010. Programa BPP. Medan Krio. Tidak dipublikasikan.

------------2010. Evaluasi Penyuluhan. http://suparto.blog.friendster.com.21 Maret 2011.

Arikunto.  S.  2006.  Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.  PT.  Rineka Cipta.  Jakarta.

Bungin B, 2009. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Prenada Media, Kencana, Jakarta.

Hornby dan Parnwell, 1972. Pengertian Evaluasi Dalam Mardikanto.T. Sistem Penyuluhan Pertanian. LPP UNS dan UNS Pres. Surakarta, 2009.

Karya Tani Mandiri Tim. 2010. Pedoman Bertanam Jagung. Nuansa Aulia. Bandung.

Mardikanto, T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. LPP UNS dan UNS Pres. Surakarta.

Padmowihardjo, S, 2002. Evaluasi Penyuluhan. Universitas Terbuka, Jakarta.

Purwono dan Purnamawati, H. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rukmana, R. 1997. Usahatani Jagung. Kanisius. Yogyakarta.

Riduwan. 2008. Cara Menggunakan dan Memaknai Analisis Jalur (Path Analysis).  Alfabeta.  Bandung.

Riduwan. 2009. Metodologi dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Alfabeta.  Bandung.





Sugiyono, 2009. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Tailor, 1996. Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif Dalam Mardikanto.T. Sistem Penyuluhan Pertanian. LPP UNS dan UNS Pres. Surakarta, 2009.